![](http://banksampahmalang.com/admin_bsm/berita/images/IMG-20131010-00985.jpg)
Bank sampah menjadi model pengelolaan di sejumlah kota. Selain mengendalikan sampah, konsep ini juga mendatangkan keuntungan ekonomi.
Kehadiran Bank Sampah Malang (BSM) pada Oktober 2011 memang bukan yang pertama. Konsep bank sampah di Indonesia untuk kali pertama dijalankan masyarakat Bantul, Yogyakarta, dan berikutnya berkembang di Pacitan serta Surabaya. Meski begitu, dibanding kota lain, BSM jauh lebih eksis dan lebih tertata. Salah satu indikasinya, saat ini BSM memiliki 22 ribu nasabah yang dikelola oleh 25 unit (bank sampah) instansi, 291 unit masyarakat, 174 unit sekolah, dan 500 unit individu.
BSM yang kini memasuki tahun ketiga pengelolaannya sudah mampu mandiri dari sisi pendanaan, bahkan surplus. Bila tahun pertama pendanaan masih bersumber dari dana hibah APBD Kota Malang, sekarang BSM sudah beromzet Rp 150 juta/bulan. Biaya operasional sebesar Rp 30 juta per bulan pun mampu ditutupi sekaligus memiliki kecukupan dana untuk membayar semua uang nasabah.
Eksistensi BSM ini tidak lepas dari kepemimpinan Rahmat Hidayat ST selaku Ketua Koperasi BSM. Tangan dingin Rahmat, sapaan akrabnya, tidak sekadar menjadikan BSM tempat menabung sampah. BSM juga dikembangkan sebagai model pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir. Dari hulunya, BSM melakukan sosialisasi sekaligus pendampingan pengelolaan sampah berbasis rumah tangga. Pada hilirnya, BSM sampai mengolah dan memproduksi sampah menjadi barang bernilai ekonomis.
"Tabungan sampah dari masyarakat tidak serta merta kami salurkan langsung atau jual ke industri. Kami pilah sampah itu dan kami manfaatkan dalam bentuk lain. Misalnya dijadikan produk kerajinan, composting, dan media budidaya cacing," terang alumnus Teknik Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang itu.
Dengan memilah hingga 70 jenis sampah, lanjut Rahmat, menjadikan BSM sebagai satu-satunya pusat informasi pengolahan sampah rumah tangga terbaik. BSM juga menjadi unsur penting keberhasilan Kota Malang meraih Adipura Kencana 2013. Bapak dua anak ini pun kini banyak menghabiskan waktunya untuk berkeliling ke berbagai kota di Indonesia sebagai instruktur bank sampah.
"Kementerian Lingkungan Hidup dan beberapa organisasi lingkungan hidup selalu menggandeng kami untuk menjembatani lahirnya bank sampah di berbagai kota. Seperti di Banggai, Cimade, Banjarmasin, Pontianak, Raja Ampat, dan juga Probolinggo. Kami tidak saja sosialisasi dan berbagai pengalaman, bila kondisi masyarakat dan pemerintah daerah mendukung, kami siap mendampingi hingga bisa berjalan," jelas Rahmat yang juga pegawai negeri di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang ini.
Bagi Rahmat, dukungan dari pemerintah daerah memang penting untuk eksistensi bank sampah. Dukungan itu tidak harus berupa dana tapi fasilitas dan kebijakan agar masyarakat tidak menilai bank sampah laiknya pengepul sampah. Bank sampah harus mengemban fungsi sosial, ekonomi, edukasi, dan pada akhirnya mengubah mindset masyarakat agar mau berbuat sesuatu pada sampah.
"Orang yang mau berbuat sesuatu pada sampah, itu sudah luar biasa. Pemerintah tinggal memfasilitasi itu. Misalnya, dengan membantu alat timbangan, alat pemilah sampah, pencacah, dan juga pengering. Syukur-syukur bisa memfasilitasi langsung dengan dunia industri atau malah ikut memasarkan produk dari olahan sampah," urainya.
Dari sisi legalitas, BSM hadir dengan Keputusan Wali Kota Malang No 518/18/35.73.112/2011 tentang Pengesahan Akta Pendirian Koperasi BSM. Akta pendiriannya sendiri dibuat oleh Notaris Yudo Sigit Riswanto SH dengan Nomor 9 tertanggal 12 Agustus 2011. Kelengkapan legal lain juga sudah dikantongi meliputi Izin Gangguan dari Dinas Perizinan Kota Malang; SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan Izin Usaha dari BP2T (Badan Pelayanan Perizinan Terpadu) Kota Malang; serta Tanda Daftar Perusahaan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang.
Lepas dari legalitas dan dukungan pemerintah, sosok pemimpin juga berpengaruh besar dalam mengembangkan BSM. Teguh Sambodo, staf bagian pemilah sampah, mengakui Rahmat memang sosok yang pas. Meski berlatar belakang pegawai negeri, Rahmat sama sekali tidak membiarkan manajemen BSM dikelola ala organisasi birokrasi, malah lebih mirip perusahaan meski bentuknya koperasi. Rahmat berani menggaji lebih staf BSM tapi juga keras dalam menerapkan aturan.
"Pak Rahmat itu pernah memecat 10 orang sekaligus karena tidak bisa diajak kerja. Pada saat yang bersamaan Pak Rahmat juga turun sendiri untuk mengajari semua stafnya, mulai dari nol sampai bisa. Saya beruntung bisa belajar dari Pak Rahmat sebagai modal saya juga untuk menularkan pada masyarakat," urai Teguh yang bergabung di BSM sejak 2012.
Sikap keras dalam kepemimpinan Rahmat juga tercermin saat evaluasi. Untuk urusan satu ini, Teguh tidak kaget menghadapi suasana evaluasi yang terbuka dan solutif. Tidak pandang waktu, jika ada permasalahan evaluasi bisa berlangsung hingga tengah malam. "Evaluasi selalu terbuka. Bila ada petunjuk atau program yang tidak jalan, Pak Rahmat mengevaluasi hingga menemukan masalahnya. Sekaligus mengajak dialog sampai ketemu solusinya. Sampai ketemu, mau sampai tengah malam juga ngga peduli, pokok harus selesai dan tuntas," tutur Teguh mengisahkan.
Menanggapi penilaian stafnya ini, Rahmat tidak menampik. Hal itu dilakukan agar BSM tidak menjadi tempat bisnis oleh pegawainya sebab sampah, harus diakui, memang punya nilai ekonomis. Manajemen ala perusahaan sengaja Ia terapkan demi keberlanjutan BSM ke depan.
Bila dikelola model birokrasi maka berpotensi terseret ke pengelolaan yang tidak efisien.
"Kalau saya ambil staf dari PNS, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka punya job description sesuai tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi). Makanya saya mending menggaji orang secara professional asal bisa diajak bekerja. Nantinya jika ada pergantian kepemimpinan, BSM tetap jalan dan berkembang. Sebab saya sendiri juga PNS yang sewaktu-waktu bisa dirotasi sesuai perintah pimpinan," jelasnya.
Disinggung soal harapannya pada Indonesia ke depan, Rahmat benar-benar berharap agar model bank sampah ini bisa menjadi kebijakan nasional. Secara pribadi, Rahmat sudah memberikan masukan pada Bappenas agar pemerintah memiliki perhatian pada bank sampah. Salah satunya dengan mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bank sampah. Selama ini DAK untuk pengolaan sampah lebih banyak fokus pada Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Kalau ada perhatian pada bank sampah, saya yakin bisa mendorong minat masyarakat untuk berbuat sesuatu pada sampah. Kalau minat itu berlangsung secara nasional maka secara tidak langsung bank sampah menjadi model efektif menangani permasalahan sampah secara nasional," pungkasnya.
Kehadiran Bank Sampah Malang (BSM) pada Oktober 2011 memang bukan yang pertama. Konsep bank sampah di Indonesia untuk kali pertama dijalankan masyarakat Bantul, Yogyakarta, dan berikutnya berkembang di Pacitan serta Surabaya. Meski begitu, dibanding kota lain, BSM jauh lebih eksis dan lebih tertata. Salah satu indikasinya, saat ini BSM memiliki 22 ribu nasabah yang dikelola oleh 25 unit (bank sampah) instansi, 291 unit masyarakat, 174 unit sekolah, dan 500 unit individu.
BSM yang kini memasuki tahun ketiga pengelolaannya sudah mampu mandiri dari sisi pendanaan, bahkan surplus. Bila tahun pertama pendanaan masih bersumber dari dana hibah APBD Kota Malang, sekarang BSM sudah beromzet Rp 150 juta/bulan. Biaya operasional sebesar Rp 30 juta per bulan pun mampu ditutupi sekaligus memiliki kecukupan dana untuk membayar semua uang nasabah.
Eksistensi BSM ini tidak lepas dari kepemimpinan Rahmat Hidayat ST selaku Ketua Koperasi BSM. Tangan dingin Rahmat, sapaan akrabnya, tidak sekadar menjadikan BSM tempat menabung sampah. BSM juga dikembangkan sebagai model pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir. Dari hulunya, BSM melakukan sosialisasi sekaligus pendampingan pengelolaan sampah berbasis rumah tangga. Pada hilirnya, BSM sampai mengolah dan memproduksi sampah menjadi barang bernilai ekonomis.
"Tabungan sampah dari masyarakat tidak serta merta kami salurkan langsung atau jual ke industri. Kami pilah sampah itu dan kami manfaatkan dalam bentuk lain. Misalnya dijadikan produk kerajinan, composting, dan media budidaya cacing," terang alumnus Teknik Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang itu.
Dengan memilah hingga 70 jenis sampah, lanjut Rahmat, menjadikan BSM sebagai satu-satunya pusat informasi pengolahan sampah rumah tangga terbaik. BSM juga menjadi unsur penting keberhasilan Kota Malang meraih Adipura Kencana 2013. Bapak dua anak ini pun kini banyak menghabiskan waktunya untuk berkeliling ke berbagai kota di Indonesia sebagai instruktur bank sampah.
"Kementerian Lingkungan Hidup dan beberapa organisasi lingkungan hidup selalu menggandeng kami untuk menjembatani lahirnya bank sampah di berbagai kota. Seperti di Banggai, Cimade, Banjarmasin, Pontianak, Raja Ampat, dan juga Probolinggo. Kami tidak saja sosialisasi dan berbagai pengalaman, bila kondisi masyarakat dan pemerintah daerah mendukung, kami siap mendampingi hingga bisa berjalan," jelas Rahmat yang juga pegawai negeri di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang ini.
Bagi Rahmat, dukungan dari pemerintah daerah memang penting untuk eksistensi bank sampah. Dukungan itu tidak harus berupa dana tapi fasilitas dan kebijakan agar masyarakat tidak menilai bank sampah laiknya pengepul sampah. Bank sampah harus mengemban fungsi sosial, ekonomi, edukasi, dan pada akhirnya mengubah mindset masyarakat agar mau berbuat sesuatu pada sampah.
"Orang yang mau berbuat sesuatu pada sampah, itu sudah luar biasa. Pemerintah tinggal memfasilitasi itu. Misalnya, dengan membantu alat timbangan, alat pemilah sampah, pencacah, dan juga pengering. Syukur-syukur bisa memfasilitasi langsung dengan dunia industri atau malah ikut memasarkan produk dari olahan sampah," urainya.
Dari sisi legalitas, BSM hadir dengan Keputusan Wali Kota Malang No 518/18/35.73.112/2011 tentang Pengesahan Akta Pendirian Koperasi BSM. Akta pendiriannya sendiri dibuat oleh Notaris Yudo Sigit Riswanto SH dengan Nomor 9 tertanggal 12 Agustus 2011. Kelengkapan legal lain juga sudah dikantongi meliputi Izin Gangguan dari Dinas Perizinan Kota Malang; SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan Izin Usaha dari BP2T (Badan Pelayanan Perizinan Terpadu) Kota Malang; serta Tanda Daftar Perusahaan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang.
Lepas dari legalitas dan dukungan pemerintah, sosok pemimpin juga berpengaruh besar dalam mengembangkan BSM. Teguh Sambodo, staf bagian pemilah sampah, mengakui Rahmat memang sosok yang pas. Meski berlatar belakang pegawai negeri, Rahmat sama sekali tidak membiarkan manajemen BSM dikelola ala organisasi birokrasi, malah lebih mirip perusahaan meski bentuknya koperasi. Rahmat berani menggaji lebih staf BSM tapi juga keras dalam menerapkan aturan.
"Pak Rahmat itu pernah memecat 10 orang sekaligus karena tidak bisa diajak kerja. Pada saat yang bersamaan Pak Rahmat juga turun sendiri untuk mengajari semua stafnya, mulai dari nol sampai bisa. Saya beruntung bisa belajar dari Pak Rahmat sebagai modal saya juga untuk menularkan pada masyarakat," urai Teguh yang bergabung di BSM sejak 2012.
Sikap keras dalam kepemimpinan Rahmat juga tercermin saat evaluasi. Untuk urusan satu ini, Teguh tidak kaget menghadapi suasana evaluasi yang terbuka dan solutif. Tidak pandang waktu, jika ada permasalahan evaluasi bisa berlangsung hingga tengah malam. "Evaluasi selalu terbuka. Bila ada petunjuk atau program yang tidak jalan, Pak Rahmat mengevaluasi hingga menemukan masalahnya. Sekaligus mengajak dialog sampai ketemu solusinya. Sampai ketemu, mau sampai tengah malam juga ngga peduli, pokok harus selesai dan tuntas," tutur Teguh mengisahkan.
Menanggapi penilaian stafnya ini, Rahmat tidak menampik. Hal itu dilakukan agar BSM tidak menjadi tempat bisnis oleh pegawainya sebab sampah, harus diakui, memang punya nilai ekonomis. Manajemen ala perusahaan sengaja Ia terapkan demi keberlanjutan BSM ke depan.
Bila dikelola model birokrasi maka berpotensi terseret ke pengelolaan yang tidak efisien.
"Kalau saya ambil staf dari PNS, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka punya job description sesuai tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi). Makanya saya mending menggaji orang secara professional asal bisa diajak bekerja. Nantinya jika ada pergantian kepemimpinan, BSM tetap jalan dan berkembang. Sebab saya sendiri juga PNS yang sewaktu-waktu bisa dirotasi sesuai perintah pimpinan," jelasnya.
Disinggung soal harapannya pada Indonesia ke depan, Rahmat benar-benar berharap agar model bank sampah ini bisa menjadi kebijakan nasional. Secara pribadi, Rahmat sudah memberikan masukan pada Bappenas agar pemerintah memiliki perhatian pada bank sampah. Salah satunya dengan mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bank sampah. Selama ini DAK untuk pengolaan sampah lebih banyak fokus pada Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Kalau ada perhatian pada bank sampah, saya yakin bisa mendorong minat masyarakat untuk berbuat sesuatu pada sampah. Kalau minat itu berlangsung secara nasional maka secara tidak langsung bank sampah menjadi model efektif menangani permasalahan sampah secara nasional," pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar